Senin, 08 Agustus 2016

Bermacam suku yang ada di minangkabau

 Bermacam - macam suku yang ada di minangkabau


Kerajaan Minangkabau mencakup seluruh Sumatera Barat daratan, bagian selatan Sumatera Utara, bagian timur Riau, bagian utara Jambi, bagian utara Bengkulu dan Negeri Sembilan Malaysia. Dengan luasnya daerah kerajaan Minangkabau ini tidak heran lagi terdapat banyaknya suku-suku di Minangkabau ini dengan perkembangannya dan kekebaratannya dengan suku-suku lainnya.

Sebagaimana suku-suku lainnya di nusantara terutama Suku Batak, Suku Mandailing, Suku Nias dan Suku Tionghoa, Suku Minang juga terdiri atas banyak marga atau klan tapi menganut sistem matrilineal, yang artinya marga tersebut diwariskan menurut ibu.
Di Minangkabau marga tersebut lazim dikenal sebagai Pada awal pembentukan budaya Minangkabau oleh Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang, hanya ada empat suku induk dari dua kelarasan. Suku-suku tersebut adalah:

Suku Koto
Suku Piliang
Suku Bodi
Suku Caniago

Sekarang suku-suku dalam Minangkabau berkembang terus dan sudah mencapai ratusan suku, yang terkadang sudah sulit untuk mencari hubungannya dengan suku induk. Di antara suku-suku tersebut adalah:
Suku Piboda
Suku Pitopang
Suku Tanjung
Suku Sikumbang
Suku Guci
Suku Panai
Suku Jambak
Suku Panyalai
Suku Kampai
Suku Bendang
Suku Malayu
Suku Kutianyie
Suku Mandailiang
Suku Sipisang
Suku Mandaliko
Suku Sumagek
Suku Dalimo
Suku Simabua
Suku Salo
Suku Singkuang
Suku Rajo Dani

Berikut keterangan tentang suku-suku tersebut:

1. Suku Koto
Suku koto merupakan satu dari dua klan induk dalam suku Minangkabau. Suku minangkanbau memiliki dua klan (suku dalam bahasa orang minang) yaitu Klan/suku Koto Piliang dan Klan/suku Bodi Chaniago

Pemekaran
Suku ini mengalami pemekaran menjadi beberapa pecahan suku yaitu:
Tanjung Koto
Koto Piliang di nagari Kacang, Solok
Koto Dalimo,
Koto Diateh,
Koto Kaciak,
Koto Kaciak 4 Paruaik di Solok Selatan
koto Tigo Ibu di Solok Selatan
Koto Kampuang,
Koto Kerambil,
Koto Sipanjang
koto sungai guruah di Nagari Pandai Sikek (Tanah Data)
koto gantiang di Nagari Pandai Sikek (Tanah Data)
koto tibalai di Nagari Pandai Sikek (Tanah Data)
koto limo paruik di Nagari Pandai Sikek (Tanah Data)
koto rumah tinggi di nagari Kamang Hilir (Agam)
koto rumah gadang, di nagari Kamang Hilir (Agam)
kotosariak, di nagari Kamang Hilir (Agam)
koto kepoh, di nagari Kamang Hilir (Agam)
koto tibarau, di nagari Kamang Hilir (Agam)
koto tan kamang/koto nan batigo di nagari Kamang Hilir (Agam)
Koto Tuo di Kenegerian Paranap, Inderagiri Hulu
koto Baru di Kenegerian Paranap, Inderagiri Hulu

2. Suku Piliang
Suku Piliang adalah salah satu suku (marga) yang terdapat dalam kelompok suku Minangkabau. Suku ini merupakan salah satu suku induk yang berkerabat dengan suku Koto membentuk Adat Ketumanggungan yang juga terkenal dengan Lareh Koto Piliang.

Pemekaran
Suku ini mengalami pemekaran menjadi beberapa pecahan suku yaitu:
Piliang Guci (Guci Piliang di nagari Koto Gadang, Agam)
Pili di Nagari Talang, Sungai Puar (Agam)
Koto Piliang di nagari Kacang, Solok dan Lubuk Jambi, Kuantan Mudik, Riau
Piliang Laweh (Piliang Lowe) di ([[Kuantan Singingi))
Piliang Sani (Piliang Soni) di Kuantan Singingi, Riau dan nagari Singkarak, Solok
Piliang Baruah
Piliang Bongsu,
Piliang Cocoh,
Piliang Dalam,
Piliang Koto,
Piliang Koto Kaciak,
Piliang Patar,
Piliang Sati
Piliang Batu Karang di nagari Singkarak, Solok
Piliang Guguak di nagari Singkarak, Solok
Piliang Atas (Kuantan Singingi))
Piliang Bawah (Kuantan Singingi))
Piliang Godang (Piliang Besar)
Piliang Kaciak (kecil)

Persebaran
Suku ini banyak menyebar ke berbagai wilayah Minangkabau yaitu Tanah Datar, Agam, Lima Puluh Kota, Solok, Riau, Padang dan beberapa daerah lainnya.
Dari beberapa sumber, diketahui tidak terdapat suku ini di Pesisir Selatan dan Solok Selatan.

Kerabat
Di bawah payung suku Koto-Piliang, terdapat banyak suku lain yang bernaung, diantaranya adalah :
suku Tanjung
suku Guci
Suku Sikumbang
Suku Malayu
Suku Kampai
Suku Panai
Suku Bendang
Suku Piliang berdatuk kepada Datuk Ketumanggungan di zaman Adityawarman.

3. Suku Bodi
Suku Bodi adalah salah satu suku (marga) dalam kelompok etnis Minangkabau yang juga merupakan sekutu Suku CaniagoAdat Perpatih atau Lareh Bodi Caniago. Kelarasan Bodi-Caniago ini didirikan oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang. membentuk

Persebaran
Suku ini tidak banyak tersebar di wilayah Minangkabau yang lain seperti halnya saudara dekatnya sendiri yaitu Suku Caniago, Suku Koto dan Suku Piliang. Suku ini kebanyakan terdapat di Kabupaten Tanah Datar.

4. Suku Caniago
Suku Caniago adalah suku asal yang dibawa oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang yang merupakan salah satu induk suku di Minangkabau selain suku Piliang. Suku Caniago memiliki falsafah hidup demokratis, yaitu dengan menjunjung tinggi falsafah "bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat. Nan bulek samo digolongkan, nan picak samo dilayangkan" artinya: "Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat". Dengan demikian pada masyarakat suku caniago semua keputusan yang akan diambil untuk suatu kepentingan harus melalui suatu proses musyawarah untuk mufakat.

5. Suku Tanjung
Suku Tanjung merupakan subsuku dari Suku Minangkabau yang tergolong banyak perkembangan populasinya. Suku ini tersebar hampir di seluruh wilayah Minangkabau dan perantauannya.

Persebaran suku Tanjung
Suku Tanjung banyak menyebar nagari Batipuh (Tanah Datar), Kurai Limo Jorong (Agam), Ampek Angek (Agam), Talang Sungai Puar (Agam), Maninjau, Singkarak (Solok), Koto Gaek dan Aie Batumbuk (Solok), Air Bangis dan Talu (Pasaman), Pauh IX (Padang), Padang Pariaman, Bayang dan Tarusan (Pesisir Selatan), dan beberapa nagari lain di Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, dan perantauan orang Minang.

Pemekaran suku Tanjung
Suku ini mengalami pemekaran menjadi beberapa pecahan suku yaitu:
Tanjung Pisang (Tanjung Sipisang)
Tanjung Simabua
Tanjung Guci
Tanjung Kaciak (Tanjung Ketek)
Tanjung Sikumbang
Tanjung Koto
Tanjung Gadang
Tanjung Payobada
Tanjung Sumpadang (Tanjung Supadang)
Tanjung Batingkah
Panai Tanjung

Sekutu suku Tanjung
Suku Tanjung termasuk ke dalam Lareh Koto Piliang. Sekutu suku Tanjung adalah:
Suku Guci (sebagian ada yang mengatakan dekat ke Suku Melayu misalnya di Pauh, Padang)
Suku Sikumbang
Suku Koto
Suku Piliang
Suku Sipisang

Suku Tanjung bersama Suku Malayu dan Suku Mandailiang mempunyai kemiripan nama dengan marga Tanjung, Etnis Melayu dan marga Mandailing di luar Minangkabau. Apakah ketiga suku ini mempunyai kaitan sejarah di masa lampau, ini membutuhkan penelitian lebih lanjut

6. Suku Guci 
Adalah salah satu di Minangkabau yang berafiliasi dalam Lareh Koto Piliang yaitu merapat ke suku Tanjung.
Suku Guci di berbagai daerah bergabung dengan suku-suku yang berbeda-beda. Di daerah Kecamatan Bayang, Pesisir Selatan, suku Guci serumpun dengan suku Tanjung. Tapi di Pauh, Padang, suku Guci serumpun dengan Suku Melayu. Begitu pula di kecamatan Empat Koto, Agam, suku Guci disebut pula sebagai suku Guci Piliang, yang berarti suku ini telah merapat pula ke Suku Piliang, di Nagari Kuraitaji Kecamatan Nan Sabaris Kabupaten Padang Pariaman & Kecamatan Pariaman Selatan Kota Pariaman, suku Guci merupakan kelompok masyarakat yang berasal dari suku Piliang yang menetap di Nagari Kuraitaji karena di nagari ini tidak ada suku Piliang

7. Suku Sikumbang
Suku Sikumbang termasuk suku yang banyak berkembang diantara suku-suku Minangkabau. Warga suku ini menyebar di berbagai wilayah Minangkabau baik di luhak, rantau ataupun di perantauan.

Sekutu Suku Sikumbang
Suku Sikumbang bersekutu dengan suku-suku lain di Minangkabau terutama Suku Tanjung, Suku Koto, Suku Piliang dan suku lainnya.

Gelar Datuk Suku Sikumbang
Diantara gelar datuk suku ini adalah :
Datuk Bandaro
Datuk Basa Batuah
Datuk Rajo Api
Datuk Mangiang

8. Suku Jambak
Suku Jambak adalah salah suku di Minangkabau yang bernaung di bawah Lareh Bodi Caniago.

Pemekaran
Di nagari Malalo, Batipuh Selatan (Tanah Datar), suku Jambak mengalami pertumbuhan populasi yang pesat yang mengakibatkan mereka harus memekarkan diri menjadi beberapa pecahan suku yaitu:
suku Muaro Basa
suku nyiur
suku makaciak
suku pauh
suku simawang (diambil dari nama nagari tetangga)
suku talapuang
suku melayu (nama ini diambilkan dari nama suku melayu yang sudah ada). Sehingga bisa disebut sebagai suku melayu jambak.
suku jambak
suku pisang (nama suku ini juga sudah ada di daerah lain sehingga disebut saja sebagai suku pisang jambak).
suku sapuluh
suku baringin.

Kerabat
Sekutu yang paling populer dari suku Jambak adalah Suku Kutianyie. Selain itu juga berkerabat dengan Suku Bodi dan Suku Caniago

9. Suku Kampai
Suku Kampai adalah sebuah suku yang terdapat dalam kelompok etnis Minangkabau.

Persebaran
Suku ini banyak terdapat di Solok Selatan, Solok, Pesisir Selatan, Kabupaten Lima Puluh Kota, Tanah Datar dan beberapa nagari lainnya di Minangkabau baik di darek maupun rantau.

Kerabat
Suku ini berkerabat dengan Suku Panai, Suku Malayu, Suku Mandailiang dan beberpa suku lainnya.

Penghulu Adat
Dt. Rajo Malikan Nan Gomuak
Dt. Marajo Cindo Nan Kuniang

10. Suku Malayu

Suku Malayu sebagai Suku Asal Suku Minangkabau
Dikutip dari Buku Sejarah Kebudayaan Minangkabau bahwa suku-suku yang ada dalam kelompok suku Minangkabau merupakan pemekaran dari suku Malayu. Berikut uraiannya: Suku Melayu terpecah menjadi 4 kelompok dan setiap kelompok mengalami pemekaran menjadi beberapa pecahan suku sebagai berikut:

Melayu nan IV Paruik (Kaum Kerajaan) :
Suku Malayu
Suku Kampai
Suku Bendang (Suku Salayan)
Suku Lubuk Batang

Melayu nan V Kampung (Kaum Datuk Nan Sakelap Dunia, Lareh Nan Panjang)
Suku Kutianyie
Suku Pitopang
Suku Banuhampu (Suku Bariang)
Suku Jambak
Suku Salo

Melayu nan VI Ninik (Kaum Datuk Perpatih Nan Sebatang, Lareh Bodi Caniago)
Suku Bodi
Suku Singkuang (Suku Sumpadang)
Suku Sungai Napa (Sinapa)
Suku Mandailiang
Suku Caniago
Suku Mandaliko
Suku Balaimansiang (Suku Mansiang)
Suku Panyalai
Suku Sumagek
Suku Sipanjang (Supanjang)

Melayu Nan IX Induak (Kaum Datuk Ketumanggungan, Lareh Koto Piliang)
Suku Koto (Andomo Koto)
Suku Piliang
Suku Guci (suku Dalimo)
Suku Payobada (suku Dalimo)
Suku Tanjung
Suku Simabur
Suku Sikumbang
Suku Sipisang (Pisang)
Suku Pagacancang

Pemekaran
Seiring dengan pesatnya pertumbuhan populasi warga suku Malayu, pemekaran suku menjadi hal yang tak dapat dihindari. Telah terjadi pemekaran suku Malayu menjadi beberapa pecahan suku di berbagai nagari di Minangkabau, antara lain:
Malayu Panai
Malayu Gadang
Malayu Gadang Ranatu Kataka (Lunang)
Malayu Gadang Kumbuang (Lunang)
Malayu Gantiang
Malayu Ampek Niniak (Empat Nenek) (Solok Selatan}
Malayu Ampek Paruik (Empat Perut) (Solok Selatan)
Malayu Bariang Ampek Paruik (Solok Selatan)
Malayu Koto Kaciak Ampek Paruik (Solok Selatan)
Malayu Durian (Malayu Rajo)
Malayu Kecik (Kecil) (Lunang)
Malayu Durian Limo Ruang (Solok Selatan)
Malayu Badarah Putiah,
Malayu Baduak,
Malayu Balai,
Malayu Baruah,
Malayu Bendang,
Malayu Bongsu,
Malayu Bosa,
Malayu Bungo,
Malayu Cikarau,
Malayu Gandang Perak,
Malayu Kumbuak Candi,
Malayu Kumbuak Harum,
Malayu Lampai,
Malayu Lua,
Malayu Panjang,
Malayu Patar,
Malayu Siat,
Malayu Talang,
Malayu Tobo,
Malayu Tongah (Tangah)
Kerabat

Di antara suku-suku yang termasuk rumpun suku Melayu di Minangkabau adalah :
Suku Panai
Suku Bendang
Suku Kampai
Suku Mandailiang

11. Suku Bendang
Suku Bendang adalah salah satu suku (marga) yang termasuk kedalam kelompok suku Minangkabau

Etimologi
Secara etimologi kata ˜bendang berasal dari kata˜benderang yang artinya terang misalnya terdapat pada idiom suluh bendang (pelita terang).

Pemekaran Suku
Suku Bendang mengalami pemekaran menjadi beberapa suku yaitu:
suku Bendang Ateh Bukik
suku Bendang Rumah Baru,
suku Bendang Salek
suku Kampai Bendang (di Solok Selatan)
suku Malayu Bendang (di Bayang)

Kerabat
Kerabat paling dekat dengan suku Bendang adalah suku Malayu, suku Panai, suku Kampai dan beberapa suku lainnya.

12. Suku Panai
Suku Panai termasuk ke dalam subetnis suku Malayu, yang merupakan sebagian dari suku bangsa Minangkabau. Suku ini juga berkerabat dengan Suku Kampai dan Suku Bendang, yang semuanya menganut adat Koto Piliang dan sebagian juga menganut campuran kedua adat Koto Piliang dan Bodi Caniago.
Suku ini banyak terdapat di daerah Kabupaten Solok Selatan. Suku ini juga banyak melakukan pemekaran suku.

13. Suku Pitopang
Suku Pitopang adalah salah satu suku yang banyak terdapat di Luhak Limo Puluh Koto dan Riau (wilayah Kuantan, Kampar dan Rokan).

Etimologi
Kadang-kadang suku ini disebut Patapang, Petopang, Pitapang dan Patopang. Mungkin asal katanya adalah Topang yang berarti Sangga atau Dukung (Penopang/Penumpu).

Persebaran
Suku ini banyak menyebar di Kabupaten dan kota Lima Puluh Kota dan Riau.
Penghulu Adat

14. Suku Payobada
Suku Piboda atau Payobada adalah salah satu suku (marga) dalam kelompok etnis Minangkabau, yang penyebarannya tersebar merata di tiga Luhak yang tersebut dalam tambo, yaitu Luhak Tak nan Data atau Tanah Datar (sekarang), Luhak Agam, dan Luhak Limo Puluah

Pemekaran
Suku juga mengalami pemekaran spt halnya suku Minang yang lain, diantaranya adalah adanya suku Tanjung Payobada di nagari Koto Kaciak, Kecamatan Tanjung Raya, Agam.

15. Suku Panyalai
Suku Panyalai merupakan salah satu suku yang bertempat tinggal di Nagari Kuraitaji (sekarang terletak dalam 2 daerah otonom yaitu Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman).

Suku Panyalai ini mempunyai 4 paruik yaitu[1]:
Jingkaro Penghulu : Datu Basa
Subarang Ilia Penghulu : Datuk Penghulu Basa Pauh Penghulu
Pauh penghulu : Datuk Majo Basa
Subarang ulu Penghulu : Datuk Saripado Gadang/Ketek

Masih banyak suku-suku lain di Minang yang belum memiliki keterangan yang memadai. Diantaranya:

Suku Kutianyie
Suku Mandailiang
Suku Sipisang
Suku Mandaliko
Suku Sumagek
Suku Dalimo
Suku Simabua
Suku Salo
Suku Singkuang
Suku Rajo Dani


Demikianlah tentang suku-suku yang ada di Minangkabau. Jika ada kesalahan dalam penulisan ambo mohon maaf.
kini suku sanak suku apo?
silahkan isi komen jo suku sanak, mano tau ado nan sasuku.
nan sasuku indak buliah pacaran do apolagi manikah
sumber: http://www.digitalsumbar.com/2015/01/suku-yang-ada-di-minangkabau.html

Senin, 09 Mei 2016

Harimau Nan Salapan

HARIMAU NAN SALAPAN (bukan sinetron 7 manusia harimau)



Harimau Nan Salapan;
Tuanku Nan Renceh, 
Tuanku Pasaman, 
Tuanku Rao, 
Tuanku Tambusai, 
Tuanku Lintau, 
Tuanku Mansiangan, 
Tuanku Pandai Sikek,
Tuanku Barumun

Perang Padri 

adalah peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam. Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan  mereka adalah: Tuanku Nan Renceh, Tuanku Pasaman, Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku Lintau, Tuanku Mansiangan, Tuanku Pandai Sikek dan Tuanku Barumun. sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821. Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda.
Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya dan memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan konflik.


Latar belakang

Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.
Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Dari catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.

Keterlibatan Belanda

Karena terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung yang tidak pasti, maka Kaum Adat yang dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan kepada Belanda pada tanggal 21 Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung. Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia-Belanda, kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.
Keterlibatan Belanda dalam perang karena diundang oleh kaum Adat, dan campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kemudian pada 8 Desember 1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.

Fort van der Capellen
 
Benteng van der Capellen sekarang
Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau. Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, namun Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, namun pada tahun 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung. Sedangkan Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami demam tinggi.
Sementara pada bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto Tuo dan Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro dan Kapau, namun karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di Padang.

Gencatan senjata

Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia-Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro.
Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.

Tuanku Imam Bonjol


Tuanku Imam Bonjol, salah seorang pemimpin Perang Padri, yang diilustrasikan oleh de Stuers pada tahun 1820.

Tuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di Bonjol. Kemudian menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.
Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain fanatisme tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.

Peperangan jilid kedua

Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia-Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (darek). Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.
Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek yang merupakan salah satu kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort de Kock.


Persiapan pasukan Belanda di Fort de Kock

Taman; Benteng Fort de Kock

Pada awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan, menjadikan Luhak Tanah Datar berada dalam kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah. Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan berbagai serangan terhadap Kaum Padri antara tahun 1831–1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Sentot Prawirodirdjo, salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang telah membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia-Belanda setelah usai perang di Jawa. Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yang ditempatkan di Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga kemudian Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga tidak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya, dan Belanda pun juga tidak ingin ia tetap berada di Jawa dan mengirimnya kembali ke Sumatera. Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkan dan ditahan di Bengkulu, lalu ditinggal sampai mati sebagai orang buangan. Sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi tentara Belanda.

Sentot Prawirodirdjo, yang diilustrasikan oleh G. Kepper.
Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim pasukan infantri dalam jumlah besar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, untuk mempercepat penyelesaian peperangan. Dengan tambahan pasukan tersebut pada bulan Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dalam kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau. Kemudian Kaum Padri terus melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang, namun seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda setelah jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari kawasan luhak dan bertahan di Bonjol.
Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yang masih menjadi basis Kaum Padri. Pada awal Januari 1833, pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Mantinggi, namun sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda. Namun dalam pertempuran di Air Bangis, pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.

Perlawanan bersama


Kaum Adat
Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi antara Kaum Adat dan Kaum Padri. Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Hampir selama 20 tahun pertama perang ini (1803–1823), dapatlah dikatakan sebagai perang saudara melibatkan sesama etnik Minang dan Batak.

Pada tanggal 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang secara mendadak, membuat keadaan menjadi kacau; disebutkan ada sekitar 139 orang tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar, ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei 1833 di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Kemudian Belanda mengasingkannya ke Batavia, walau dalam catatan Belanda Sultan Tangkal Alam Bagagar menyangkal keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos Belanda, namun pemerintah Hindia-Belanda juga tidak mau mengambil risiko untuk menolak laporan dari para perwiranya. Kedudukan Regent Tanah Datar kemudian diberikan kepada Tuan Gadang di Batipuh.
Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja, tetapi secara keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan pengumuman yang disebut "Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak. Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi dan mesti menjualnya kepada Belanda.

Serangan ke Bonjol


Letnan Kolonel Raaff dan pasukannya, dilukiskan oleh G. Kepper. Raaff meninggal dunia sebelum berakhirnya Perang Padri.

Romantisme kepahlawanan dalam Perang Padri, diilustrasikan oleh G. Kepper.
Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Johannes van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari dekat proses operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda. Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatera, Mayor Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan Padri. Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih disangsikan dan mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat tanggal 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
Taktik serangan gerilya yang diterapkan Kaum Padri kemudian berhasil memperlambat gerak laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan badannya. Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia-Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, Van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan dan jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan kubu pertahanannya.
Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer, memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing dari Matur dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yang saat itu tengah dilanda banjir, dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah Alahan Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan Panjang adalah daerah Padang Lawas yang secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini.
Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang dan membuat kubu pertahanan di sana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.
Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan houwitser, mortir dan meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban.
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.

Benteng Bonjol


Lukisan Bonjol pada tahun 1839.
Benteng Bonjol terletak di atas bukit yang hampir tegak lurus ke atas, dikenal dengan nama Bukit Tajadi. Tidak begitu jauh dari benteng ini mengalir Batang Alahan Panjang, sebuah sungai di tengah lembah dengan aliran yang deras, berliku-liku dari utara ke selatan. Benteng ini berbentuk segi empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding dibuat parit yang dalam dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari batu-batu besar dengan teknik pembuatan hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa dan di atasnya ditanami bambu berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat mengamati bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.
Semak belukar dan hutan yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-kubu pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda. Keadaan inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun kubu pertahanan yang strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.

Pengepungan Bonjol


Kejatuhan Bukit Tajadi, diilustrasikan oleh G. Kepper.
Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade terhadap Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri secara gerilya. Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah bala bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit Tajadi.[27] Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah Luhak Limo Puluah dan Padang Bubus, namun hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh Mayor Prager.
Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati mengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.

Kemenangan Belanda dalam Perang Padri, yang diilustrasikan oleh G. Kepper.

Frans David Cochius, komandan penaklukan Benteng Bonjol.
Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing pihak.
Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Batavia yang waktu itu telah dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens, kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol untuk kesekian kalinya.[28] Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel.
Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837)[29] dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, termasuk di dalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya adalah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz, dan seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu dari Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.
Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan infantri dan kavaleri yang terus berdatangan. Pada tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, dan pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.

Perundingan

Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, namun karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali.
Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di Padang untuk mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaannya melakukan perundingan. Perundingan itu dikatakan tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih dan gencatan senjata berlaku. Tuanku Imam Bonjol diminta untuk datang ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa membawa senjata. Tapi hal itu cuma jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan Oktober 1837 dan kemudian Tuanku Imam Bonjol dalam kondisi sakit langsung dibawa ke Bukittinggi kemudian terus dibawa ke Padang, untuk selanjutnya diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia dipindahkan ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Manado, dan di daerah inilah setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol menghembuskan nafas terakhirnya.

Akhir peperangan


Monumen Perang Padri yang dibangun pada masa Hindia-Belanda
Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu (Rokan Hulu), yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838. Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Netherlandica dan wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia-Belanda.

Warisan sejarah

Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia-Belanda membangun sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini. Kemudian sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan sebagai kawasan wisata di Minangkabau. Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjol dan dinamai dengan Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol.
Perjuangan beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional.
sumber; https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Padri

Urang Awak Pada Mata Uang Empat Negara

Empat Tokoh Minang Yang Gambarnya Ada di Mata Uang  Empat Negara 



URANG AWAK DIPITIH AMPEK NEGARA;
Apakah Anda urang awak Minangkabau? Atau memiliki darah Urang Awak dari pihak bapak atau ibu? Atau bahkan memiliki hubungan kekerabatan dengan Minangkabau dari generasi-generasi sebelumnya? Jika iya, patut berbanggalah.
Setidaknya, empat mata uang utama di empat negara di Asia Tenggara, mulai dari Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam, terdapat gambar pemimpin mereka.
Uniknya, keempat pemimpin yang dihormati tersebut mengalir darah Urang Awak Minangkabau.
Siapa saja di antara empat pemimpin besar negara dan bangsa di Asia Tenggara tersebut yang berdarah Minangkabau? Silakan simak di bawah ini:

1. Rp100 ribu Bergambar Muhammad Hatta
Gambar Wakil Presiden I, Muhammad Hatta, tersenyum lebar bersanding dengan Presiden Soekarno di dalam uang pecahan Rp100 ribu berwarna merah.
Uang senilai itu merupakan pecahan terbesar di Indonesia. Muhammad Hatta lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902.
Selain Hatta, Pahlawan Nasional Tuanku Imam Bonjol dengan nama asli Muhammad Shahab, juga diabadikan dalam mata uang Indonesia. Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, 1772 .
Tuanku Imam Bonjol merupakan motor Perang Paderi mulai 1803-1838 melawan Kolonialisme Belanda hingga nyaris bangkrut sebelum mengajak perdamaian dan menangkap serta mengasingkan Imam Bonjol.


2. 50 Ringgit Malaysia dengan Tuanku Abdul Rahman
Pada mata uang 50 Ringgit Malaysia, dilansir dari anakminang.com, tertera wajah Yang Di Pertuan Agong Malaysia pertama, Tuanku Abdul Rahman Tuanku Muhammad dari Negeri Sembilan.
Tuanku Abdul Rahman merupakan yang Di-Pertuan Besar Negeri Sembilan (setingkat Sultan atau Raja) selama puluhan tahun sejak 1933-1960.
Negeri Sembilan sendiri merupakan negeri Minangkabau di luar negeri dan dihuni mayoritas Urang Awak semenjak abad ke-15.
Tuanku Abdul Rahman yang gambarnya ada di mata uang Malaysia tersebut merupakan keturunan kelima dari Sultan Abdul Jalil, dari Pagaruyung.

3. 50 Dolar Singapura Bergambar Tun Yusuf Ishak
Tak hanya di Indonesia dan Malaysia saja, mata uang Singapura dengan pecahan 50 Dolar Singapura juga bergambar pemimpin negeri berdarah Minangkabau.
Tun Yusuf Ishak keturunan Datuk Jonaton generasi ke-4. Keluarganya berasal dari Kerajaan Pagaruyung, lalu kemudian merantau ke Malaya sejak 1730 dan hijrah ke Singapura serta memimpin negara Singa itu.
Namanya hingga kini tetap abadi. Fotonya menjadi ciri mata uang dolar Singapura.

4. Mata uang Brunei Darusslam dengan Sultan Hasanal Bolkiah
Mata uang Brunei Darussalam bergambar Sultan Hasanah Bolkiah. Sultan Brunei itu juga urang awak asal Piobang, Payakumbuh.
Namanya juga terpasang di mata uang negaranya dan beberapa ruas jalan di negara kaya minyak itu juga mencantumkan namanya.
Contohnya, di Brunei ada nama Jalan Piobang 1 hingga Piobang 5. Menurut Mohd. Jamil al-Sufri dalam bukunya Tarsilah Brunei: The Early History of Brunei up to 1432 AD menyebutkan, dari silsilah raja-raja Brunei Darussalam, diketahui pendiri kerajaan Awang Alak Betatar bergelar Sultan Muhammad Shah, berasal dari Minangkabau.
Selain itu, raja-raja di Negeri Sarawak, Malaysia Timur di Pulau Kalimantan, juga banyak berasal dari Minangkabau.
Berdasarkan informasi para bangsawan Serawak, ditemui Buya Hamka, 1960 silam, juga menceritakan kaitan antara Minangkabau dengan Sarawak.
Menurut Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie dalam bukunya Mesin Ketik Tua juga memberikan informasi ketika James Brook dirajakan di Sarawak, yang melantiknya adalah datuk-datuk asal Minangkabau. sumber:

sifat wajib bagi orang minang



Sifat-sifat yang harus dimiliki orang minang

               
                            kapalang tukang binaso kayu
                              kapalang cadiak binaso adat
                                 kapalang alim rusak agamo
                                    kapalang paham kacau nagari


Salah satu tujuan adat pada umumnya, khususnya adat Minangkabau adalah membentuk individu yang berbudi luhur, manusiawi yang berbudaya dan beradab.
Dari manusia-manusia yang beradab itu diharapkan akan melahirkan suatu masyarakat yang aman dan damai, sehingga memungkinkan suatu kehidupan yang sejahtera dan bahagia, dunia dan akhirat.
Masyarakat yang “Baldatun Toiyibatun wa Rabbun Gafuur”.
Untuk mencapai masyarakat yang demikian, diperlukan insan dengan sifat-sifat menurut adat Minangkabau antaranya adalah :

1. Hiduik Baraka, baukue jo bajangka
Dalam menjalankan hidup dan kehidupan orang Minang dituntut untuk selalu memakai akalnya, terukur dan harus mempunyai rencana yang jelas dan perkiraan yang tepat.
Kelebihan manusia dari hewan adalah manusia mempunyai kekuatan besar bila dipakai secara tepat dalam menjalankan hidupnya. Ketiga kekuatan tersebut adalah otak, otot dan hati.
Pengertian peningkatan sumber daya manusia tidak lain dari mengupayakan sinergitas dan kontrol ketiga kekuatan itu untuk memperbaiki hidup dan kehidupannya.
Dengan mempergunakan akal pikiran dengan baik, manusia akan selalu waspada dalam hidup, seperti dalam pepatah berikut :

Dalam mulo akhie mambayang, dalam baiak kanalah buruak
Dalam galak tangieh kok tibo , hati gadang hutang kok tumbuah


Dengan berpikir jauh kedepan kita dapat meramalkan apa yang bakal terjadi, sehingga tetap selalu hati-hati dalam melangkah.

Alun rabah lah ka ujuang ,alun pai lah babaliak
Alun di bali lah bajua , alun dimakan lah taraso


Didalam merencanakan sesuatu pekerjaan, dipikirkan lebih dahulu sematang-matangnya dan secermat-cermatnya.

Diawai sahabih raso, dikaruak sahabih gauang, dijarah sehabis lobang

Dalam melaksanakan sesuatu pekerjaan, perlu dilakukan sesuai dengan urutan prioritas yang sudah
direncanakan, seperti kata pepatah :

Mangaji dari alif, babilang dari aso
Mancancang balandasan, malompek basitumpu


Dalam melaksanakan suatu tugas bersama, atau dalam suatu organisasi kita tak mungkin berjalan sendiri-sendiri. Hilangkan rasa “pantang taimpik”.

Diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan pola bermasyarakat kekinian. Jangan lagi bila dalam suatu organisasi itu hanya balego awak samo awak. Dalam kondisi yang demikian, akan berlaku pameo “Iyo kan nan kato beliau, tapi lakukan nan diawak”. Mari kita koreksi diri kita masing-masing dan mari kita pelajari kembali ajaran adat kita yang berbunyi sbb :

Bajalan ba nan tuo , balayie ba nakhodo , bakata ba nan pandai

Pepatah diatas mengisyaratkan bahwa nenek moyang kita telah lebih dahulu memahami pola organisasi modern era sekarang ini. “ Renungkanlah”.
Masih banyak diantara kita yang belum punya cita-cita hidup. Tidak tahu apa yang ingin dicapai dalam hidup ini. Namun ada juga yang punya cita-cita , tetapi tidak tahu bagaimana cara yang harus ditempuh untuk mencapai cita-cita itu.

Nenek moyang kita ribuan tahun yang lalu sudah tahu apa yang ingin dicapainya dalam hidup ini, dan sudah tahu pula cara apa yang harus ditempuh untuk mencapai cita-cita itu. Cobalah kita cermati pepatah berikut :

Nak kayo kuek mancari, nak tuah bertabur urai
Nak mulie tapeki janji , nak namo tinggakan jaso
Nak pandai kuek baraja


Salah satu syarat untuk bisa diterima dalam pergaulan ialah bila kita dapat membaca perasaan orang lain secara tepat. Dalam zaman modern hal ini kita kenal dengan ilmu empathi, yaitu dengan mencoba mengandaikan kita sendiri dalam posisi orang lain. Bila kita berhasil menempatkan diri dalam posisi orang lain, maka tidak mungkin kita akan memaksakan keinginan kita kepada orang lain. Dengan cara ini banyak konflik batin yang dapat dihindari. Pepatah mengajarkan dengan tepat sebagai berikut :

Elok dek awak , katuju dek urang

Segala sesuatu yang munurut pikiran sendiri adalah baik, belum tentu dianggap baik pula oleh orang lain. Kacamata yang dipakai mungkin sekali berbeda, sehingga pendapatpun berbeda pula. Kepala sama hitam, pikiran berbeda-beda.

Ssebelum ilmu manajemen berkembang di tanah air Indonesia kita tercinta, sejak tahun 1950-an yang berlalu, telah lama meyakini bahwa “perencanaan yang matang” adalah salah satu unsur yang sangat penting untuk terlaksananya suatu pekerjaan. Pepatah berikut meyakini kita akan kebenarannya :

Balabieh ancak-ancak , bakurang sio-sio , diagak mangko diagiehi, dibaliek mangko dibalah
Bayang-bayang sepanjang badan , nan babarieh nan dipahek
Nan baukue nan dikabuang , jalan nan luruih nan ditampuah
Labuah pasa nan dituruik, di garieh makanan pahat
Di aie lapehkan tubo , tantang sakik lakek ubek
Luruih manantang barieh adat


2. Baso basi jo sopan santun
Adat Minang mengutamakan sopan santun dalam pergaulan. Budi pekerti yang tinggi menjadi salah satu ukuran martabat seseorang. Etika menjadi salah satu sifat yang harus dimiliki oleh setiap individu Minang.
Adat Minang menyebutkan sebagai berikut :

Nan kuriak iyolah kundi , nan merah iyolah sago
Nan baiak iyolah budi , nan indah iyolah baso
Kuek rumah dek basandi , rusak sandi rumah binaso
Kuek bangso karano budi , rusak budi bangso binaso


Adat Minang sejak berabad-abad yang lalu telah memastikan, bila moralitas suatu bangsa sudah rusak, maka dapat dipastikan suatu waktu kelak bangsa itu akan binasa. Akan hancur lebur ditelan sejarah.
Adat Minang mengatur dengan jelas tata kesopanan dalam pergaulan. Kita tinggal mengamalkannya. Pepatah menyebutkan sebagai berikut:

Nan tuo dihormati , nan ketek disayangi , samo gadang bawo bakawan
Ibu jo bapak diutamokan


Budi pekerti adalah salah satu sifat yang dinilai tinggi oleh adat Minang. Begitu pula rasa malu dan sopan santun, termasuk sifat-sifat yang diwajibkan dipunyai oleh orang-orang Minang. Pepatah Minang memperingatkan :

Dek ribuik rabahlah padi, di cupak Datuak Tumangguang
Hiduik kok tak babudi , duduak tagak kamari cangguang
Rarak kaliki dek binalu , tumbuah sarumpun ditapi tabek
Kalau habih raso jo malu , bak kayu lungga pangabek


Kehidupan yang aman dan damai, menjadi idaman Adat Minang. Karena itu selalu diupayakan menghindari kemungkinan timbulnya perselisihan dalam pergaulan. Budi pekerti yang baik, sopan santun (basa basi) dalam pergaulan sehari-hari diyakini akan menjauhkan kita dari kemungkinan timbulnya sengketa. Budi perkerti yang baik akan selalu dikenang orang, kendatipun sudah putih tulang di dalam tanah.
Pepatah menyebutkan sbb:

Pucuak pauah sadang tajelo , panjuluak bungo linggundi
Nak jauah silang sangketo , pahaluih baso jo basi
Pulau pandan jauah ditangah, dibaliak pulau angso duo
Hancua badan di kanduang tanah , budi baiak takana juo
Nak urang koto ilalang, nak lalu ka pakan baso
Malu jo sopan kok lah ilang , habihlah raso jo pareso


3. Tenggang raso
Perasaan manusia halus dan sangat peka. Tersinggung sedikit dia akan terluka, perih dan pedih. Pergaulan yang baik, adalah pergaulan yang dapat menjaga perasaan orang lain. Kalau sampai perasaan terluka, bisa membawa bencana. Karena itu adat mengajarkan supaya kita selalu berhati-hati dalam pergaulan, baik dalam ucapan, tingkah laku maupun perbuatan jangan sampai menyinggung perasaan orang lain. Tenggang rasa salah satu sifat yang dianjurkan adat.
Pepatah memperingatkan sebagai berikut :

Bajalan paliharo kaki , bakato paliharo lidah
Kaki tataruang inai padahannyo , lidah tataruang ameh padahannyo
Bajalan salngkah madok suruik, kato sapatah dipikiaan

Nan elok dek awak katuju dek urang
Lamak dek awak lamak dek urang
Sakik dek awak sakik dek urang


4. Setia
Yang dimaksud dengan setia adalah teguh hati, merasa senasib dan menyatu dalam lingkungan kekerabatan. Sifat ini menjadi sumber dari lahirnya sifat setia kawan, cinta kampung halaman, cinta tanah air, dan cinta bangsa. Dari sini pula berawal sikap saling membantu, saling membela dan saling berkorban untuk sesama.
Pepatah menyebutkan sbb:

Malompek samo patah , manyarunduak samo bungkuak
Tatungkuik samo makan tanah , tatalantang samo minun aia
Tarandam samo basah , rasok aia pulang ka aia, rasok minyak pulang ka minyak


Bila terjadi suatu konflik, dan orang Minang terpaksa harus memilih, maka orang Minang akan memihak pada dunsanaknya. Dalam kondisi semacam ini, orang Minang sama fanatiknya dengan orang Inggris. Right or wrong is my country. Kendatipun orang Minang “barajo ka nan bana”, dalam situasi harus memihak seperti ini, orang Minang akan melepaskan prinsip.
Pepatah adat mengajarkan sbb:

Adat badunsanak, dunsanak patahankanAdat bakampuang, kampuang patahankanAdat banagari, nagari patahankanAdat babangso, bangso patahankanartinya ;
Parang ba suku samo dilipek, Parang samun samo


Dengan sifat setia dan loyal semacam ini, pengusaha Minang sebenarnya lebih dapat diandalkan menghadapi era globalisasi, karena kadar nasionalismenya tidak perlu diragukan.

5. Adil
Adil maksudnya mengambil langkah sikap yang tidak berat sebelah, dan berpegang teguh pada kebenaran. Bersikap adil semacam ini, sangat sulit dilaksanakan bila berhadapan dengan dunsanak sendiri. Satu dan lain hal karena adanya pepatah adat yang lain yang berbunyi “Adat dunsanak, dunsanak dipatahankan”.
Adat Minang mengajarkan sbb :

Bakati samo , maukua samo panjang
Tibo dimato indak dipiciangkan, tibo diparuik indak dikampihkan
Tibo didado indak dibusuangkan, mandapek samo balabo
Kahilangan samo marugi, maukua samo panjang
Mambilai samo laweh , baragiah samo banyak
Gadang kayu gadang bahannyo , ketek kayu ketek bahannyo
Nan ado samo dimakan , nan indak samo dicari i
Hati gajah samo dilapah, hati tungau samo dicacah
Gadang agiah baumpuak , ketek agiah bacacah


6. Hemat dan Cermat
Pepatah adat menyebutkan sbb:

Ibarat manusia
Nan buto pahambuih saluang , nan pakak palapeh badia
Nan patah pangajuik ayam, nan lumpuah paunyi rumah
Nan binguang kadisuruah-suruah , nan buruak palawan karajo
Nan kuek paangkuik baban , nan tinggi jadi panjuluak
Nan randah panyaruduak , nan pandai tampek batanyo
Nan cadiak bakeh baiyo , nan kayo tampek batenggang
Nan rancak palawan dunia


Ibarat tanah
Nan lereng tanami padi , nan tunggang tanami bamboo
Nan gurun jadikan parak, nan bancah jadikan sawah
Nan padek ka parumahan, nan munggu jadikan pandam
Nan gauang ka tabek ikan, nan padang tampek gubalo
Nan lacah kubangan kabau, nan rawan ranangan itiak


Ibarat kayu
Nan kuek ka tunggak tuo , nan luruih ka rasuak paran, nan lantiak ka bubungan
Nan bungkuak ka tangkai bajak, nan ketek ka tangkai sapu , nan satampok ka papan tuai
Rantiangnyo ka pasak suntiang, abunyo pamupuak padi

Ibarat bambu
Nan panjang ka pambuluah, nan pendek ka parian, nan rabuang ka panggulai

Ibarat sagu
Sagunyo ka baka huma , ruyuangnyo ka tangkai bajak
Ijuaknyo ka atok rumah, pucuaknyo ka daun paisok, lidinyo ka jadi sapu


7. Waspada
Sifat waspada dan siaga termasuk sifat yang dianjurkan adat Minang seperti sbb :

Maminteh sabalun anyuik, malantai sabalun lapuak
Ingek-ingek sabalun kanai , sio-sio nagari alah , sio-sio utang tumbuah
Siang dicaliak-caliak, malam didanga-danga


8. Berani karena benar
Islam mengajarkan kita untuk mengamalkan “amal makruf, nahi mungkar” yang artinya menganjurkan orang supaya berbuat baik, dan mencegah orang berbuat kemungkaran.
Menyuruh orang berbuat baik adalah mudah. Tapi melarang orang berbuat mungkar, mengandung resiko sangat tinggi. Bisa-bisa nyawa menjadi taruhan. Untuk bertindak menghadang kemungkaran seperti ini, memerlukan keberanian.
Adat Minang dengan tegas menyatakan bahwa orang Minang harus punya keberanian untuk menegakkan kebenaran. Berani karena benar. Pepatahnya adalah sbb :

Kok dianjak urang pasupadan , kok dialiah urang kato pusako
Kok dirubah urang Kato Daulu , jan cameh nyawo malayang
Jan takuik darah taserak, asalkan lai dalam kabanaran, basilang tombak dalam perang
Sabalun aja bapantang mati , baribu sabab mandating, namun mati hanyo sakali

Aso hilang duo tabilang , bapantang suruik di jalan, asa lai angok-angok
Asa lai jiwo-jiwo sipatuang, namun nan bana disabuik juo
Sekali kato rang lalu , anggap angin lalu sajo , duo kali kato rang lalu
Anggap garah samo gadang , tigo kali kato rang lalu , jan takuik darah taserak


9. Arif, bijaksana, tanggap dan sabar
Orang yang arif bijaksana, adalah orang yang dapat memahami pandangan orang lain. Dapat mengerti apa yang tersurat dan yang tersirat. Tanggap artinya mampu menangkis setiap bahaya yang bakal datang. Sabar artinya mampu menerima segala cobaan dengan dada yang lapang dan mampu mencarikan jalan keluar dengan pikiran yang jernih.
Ketiga sifat ini termasuk yang dinilai tinggi dalam adat Minang, seperti kata pepatah berikut :

Tahu dikilek baliuang nan ka kaki , kilek camin nan ka muka
Tahu jo gabak diulu tando ka ujan , cewang di langik tando ka paneh
Ingek di rantiang ka mancucuak, tahu didahan ka maimpok
Tahu diunak kamanyangkuik , pandai maminteh sabalun anyuik


Begitulah adat Minang menggambarkan orang-orang yang arif bijaksana dan tanggap terhadap masalah yang akan dihadapi. Orang-orang yang sabar diibaratkan oleh pepatah sbb:

Gunuang biaso timbunan kabuki, lurah biaso timbunan aia
Lakuak biaso timbunan sampah , lauik biaso timbunan ombak
Nan hitam tahan tapo, , nan putiah tahan sasah
Di sasah bahabih aia, dikikih bahabih basi


10. Rajin
Sifat yang lain yang pantas dipunyai orang Minang menurut adat adalah rajin seperti kata pepatah berikut ini :

Kok duduak marawuik ranjau, tagak maninjau jarah
Nan kayo kuek mancari , nak pandai kuek baraja


11. Rendah hati
Mungkin lebih dari separoh orang Minang hidup dirantau. Hidup dirantau artinya hidup sebagai minoritas dalam lingkungan mayoritas suku bangsa lain. Mereka yang merantau ke Jakarta, mungkin kurang merasakan sebagai kelompok minoritas.Tapi mereka yang merantau ke jawa, Malaysia, Australia, Eropa, Amerika mereka hidup ditengah-tengah orang lain yang berbudaya lain. Bagaimana perantau Minang harus bersikap ?
Adat Minang memberi pedoman sbb:

Kok manyauak di hilie-hilie, kok mangecek dibawah-bawah
Tibo dikandang kambiang mangembek, tibo dikandang kabau manguak
Dimano langik dijunjuang , disinan bumi dipijak, disitu rantiang di patah


Berarti kita harus merasa rendah diri, tetapi justru berarti kita orang yang tahu diri sebagai pendatang. Bila dalam beberapa saat kita bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan, malah bisa jadi orang teladan dan tokoh masyarakat dilingkungan baru. Pada saat itu dia tidak perlu lagi “manyauak di hilie-hilie” malah mungkin menjadi “disauakkan dihulu-hulu”, didahulukan selangkah, ditinggikan seranting, diangkat menjadi pemimpin bagaikan penghulu dilingkungannya.
Ini berarti sebagai perantau yang hidup dalam lingkungan budaya lain, maka kita sebagai kelompok yang minoritas harus tahu diri dan pandai menempatkan diri, “semoga, amin “ salam orang minang